Sabtu, 02 Oktober 2010

Puisi Buya Hamka kepada M Natsir dan biografi

Antara Buya Hamka dan M. Natsir

(dari berbagai sumber) 


Dipertengahan 1950 an itu............


KEPADA SAUDARAKU M. NATSIR

Meskipun bersilang keris di leher

Berkilat pedang di hadapan matamu

Namun yang benar kau sebut juga benar

Cita Muhammad biarlah lahir

Bongkar apinya sampai bertemu

Hidangkan di atas persada nusa

Jibril berdiri sebelah kananmu

Mikail berdiri sebelah kiri

Lindungan Ilahi memberimu tenaga

Suka dan duka kita hadapi


Suaramu wahai Natsir, suara kaum-mu

Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi

Ini berjuta kawan sepaham

Hidup dan mati bersama-sama

Untuk menuntut Ridha Ilahi


Dan aku pun masukkan

Dalam daftarmu……!

( Puisi yg di tulis secara khusus untuk Pak Natsir,  pada tgl 13 Nov 1957 setelah mendengar uraian pidato Pak Natsir dengan tegas menawarkan kepada Sidang Konstituante agar menjadikan islam sebagai dasar negara RI )
2 Th kemudian Pak Natsir pun membalas dengan Sajak untuk Buya Hamka,




DAFTAR

Saudaraku Hamka,

Lama, suaramu tak kudengar lagi
Lama...
Kadang-kadang,
Di tengah-tengah si pongah mortir dan mitralyur,
Dentuman bom dan meriam sahut-menyahut,
Kudengar, tingkatan irama sajakmu itu,
Yang pernah kau hadiahkan kepadaku,

Entahlah, tak kunjung namamu bertemu di dalam ”Daftar”.
Tiba-tiba,
Di tengah-tengah gemuruh ancaman dan gertakan,
Rayuan umbuk dan umbai silih berganti,
Melantang menyambar api kalimah hak dari mulutmu,
Yang biasa bersenandung itu,
Seakan tak terhiraukan olehmu bahaya mengancam.

Aku tersentak,
Darahku berdebar,
Air mataku menyenak,
Girang, diliputi syukur

Pancangkan !
Pancangkan olehmu, wahai Bilal !
Pancangkan Pandji-pandji Kalimah Tauhid,
Walau karihal kafirun...
Berjuta kawan sefaham bersiap masuk
Kedalam ”daftarmu” ... *

Saudaramu,
Tempat, 23 Mei 1959





*Sajak ini ”ditengah-tengah sipongah mortir”, tanggal 23 Mei 1959 sesudah tersiar pidato Prof. Dr. Hamka di Gedung Konstituante Bandung, yang antara lain menegaskan, “bahwa trias politika sudah kabur di Indonesia, demokrasi terpimpin adalah totalitarisme, Front Nasional adalah partai ”Negara”.”
Biografi Mohammad Natsir
Orang banyak mengenalnya sebagai Pak Natsir. Nama lengkapnya Muhammad Natsir, bergelar Datuk Sinaro nan Panjang, lahir di Minangkabau tanggal 17 Juli 1908, tepatnya di kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatera Barat, dari pasangan Sutan Saripado dan Khadijah. Beliau adalah tokoh bangsa, tokoh umat, dan tokoh dunia Islam, karena aktifitas dan peran yang telah dilakukannya untuk Islam dan umat tanpa mengenal lelah.

Pada tahun 1945-1946, pak Natsir menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), tahun 1946-1949 menjabat sebagai Menteri Peneranan RI, tahun 1950-1951 menjadi Perdana Menteri RI.
Dalam bidang akademik, Pak Natsir menerima gelar Doktor Honoris Causa bidang Politik Islam dari Universitas Islam Libanon (1967), dalam bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia, dan dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Saint dan Teknologi Malaysia (1991).


M Natsir dan Dunia Islam
Dalam percaturan dunia Islam, khususnya di negara-negara Arab, pak Natsir sangat dikenal, dihormati dan disegani, beliau ikut serta dan terlibat pada beberapa organisasi Islam tingkat internasional, tahun 1967 diamanahkan menjabat Wakil Presiden World Muslim Congress (Muktamar Alam Islami), Karachi, Pakistan, tahun 1969 menjadi anggota World Muslim League, Mekah, Saudi Arabia, tahun 1972 menjadi anggota Majlis A’la al-Alam lil Masajid, Mekah, Saudi Arabia, tahun 1980 menerima “Faisal Award” atas pengabdiannya kepada Islam dari King Faisal, Saudi Arabia, tahun 1985 menjadi anggota Dewan Pendiri The International Islamic Charitable Foundation, Kuwait, pada tahun 1986 menjadi anggota Dewan Pendiri The Oxford Centre for Islamic Studies, London, Inggris dan angota Majelis Umana’ International Islamic Univesity, Islamabad, Pakistan.

Ketika Subandrio naik haji dan ingin bertemu dengan Raja Faisal, Raja Faisal tidak mau menerimanya. Setelah diusahakan oleh pihak KBRI Jedah dan prosesnya agak lama, akhirnya Raja Faisal mau juga menerima Subandrio yang saat itu menjadi orang penting di Indonesia. Subandrio menceritakan tentang Islam di Indonesia, juga menceritakan perannya membela Islam, kisah naik haji dan lain-lain.

Tanpa disangka dan diduga oleh Subandrio, Raja Faisal langsung bertanya, “Kenapa saudara tahan Muhammad Natsir?”. Pak Natsir pernah diasingkan oleh pemerintah Orde Lama ke Batu Malang, Jawa Timur (1960-1962) dan menjadi “tahanan politik” di Rumah Tahanan Militer (RTM) Keagungan Jakarta (1962-1966).

“Saudara tahu”, kata Raja Faisal. “Muhammad Natsir bukan pemimpin umat Islam Indonesia saja, tetapi pemimpin umat Islam dunia ini, kami ini!”

M Natsir dan Politik Indonesia
Dalam buku Natsir, 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, ­Ge­orge McTurnan Kahin, Indonesianis asal Amerika yang bersimpati pada perjuangan bangsa Indonesia pada saat itu, bercerita tentang pertemuan pertama yang mengejutkan. Natsir, waktu itu Menteri Penerangan, berbicara apa adanya tentang negeri ini. Tapi yang membuat Kahin betul-betul tak bisa lupa adalah penampilan sang menteri. ”Ia memakai kemeja bertambalan, sesuatu yang belum pernah saya lihat di antara para pegawai pemerintah mana pun,” kata Kahin.

Mungkin karena itulah sampai tahun ini—seratus tahun setelah kelahirannya, 15 tahun setelah ia mangkat—tidak sedikit orang menyimpan keyakinan bahwa Mohammad Natsir merupakan bagian dari dunia kontempo­rer kita. Masing-masing memaklumkan keakraban dirinya dengan tokoh ini. Di kalangan Islam garis keras, misalnya, banyak yang berusaha melupakan kedekatan pikirannya dengan demokrasi Barat, seraya menunjukkan betapa gerahnya Natsir menyaksikan agresivitas ­misionaris Kristen di tanah air ini. Dan di kalangan Islam ­moderat, dengan politik lupa-ingat yang sama, tidak sedikit yang melupakan periode ketika bekas perdana menteri dari Partai Masyumi­ ini memimpin Dewan Dakwah­ Islamiyah; seraya mengenang masa tatkala perbedaan pendapat tak mampu memecah-belah bangsa ini. Pluralisme, waktu itu, sesuatu yang biasa.

Memang Mohammad Natsir hidup ketika persahabatan lintas ideologi bukan hal yang patut dicurigai, bukan suatu pengkhianatan. Natsir pada dasarnya antikomunis. Bahkan keterlibatannya kemudian dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), antara lain, disebabkan oleh kegusaran pada pemerintah Soekarno yang dinilainya semakin dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Masyumi dan PKI, dua yang tidak mungkin bertemu. Tapi Natsir tahu politik identitas tidak di atas segalanya. Ia biasa minum kopi bersama D.N. Aidit di kantin gedung parlemen, meskipun Aidit menjabat Ketua Central Committee PKI ketika itu.

Perbedaan pendapat pula yang mempertemukan Bung Karno dan Mohammad Natsir, dan mengantar ke pertemuan-pertemuan lain yang lebih berarti. Waktu itu, pe­ngujung 1930-an, Soekarno yang menjagokan nasionalis­me-sekularisme dan Natsir yang mendukung Islam sebagai bentuk dasar negara terlibat dalam polemik yang panjang di majalah Pembela Islam. Satu polemik yang tampaknya tak berakhir dengan kesepakatan, melainkan saling mengagumi lawannya.

Lebih dari satu dasawarsa berselang, keduanya ”bertemu” lagi dalam keadaan yang sama sekali berbeda. Natsir menjabat menteri penerangan dan Soekarno presiden dari negeri yang tengah dilanda pertikaian partai politik. Puncak kedekatan Soekarno-Natsir terjadi ketika Natsir sebagai Ketua Fraksi Masyumi menyodorkan jalan keluar buat negeri yang terbelah-belah oleh model federasi. Langkah yang kemudian populer dengan sebutan Mosi Integral, kembali ke bentuk negara kesatuan, itu berguna untuk menghadang politik pecah-belah Belanda.

Mohammad Natsir, sosok artikulatif yang selalu memelihara kehalusan tutur katanya dalam berpolitik, kita tahu, akhirnya tak bisa menghindar dari konflik keras dan berujung pada pembuktian tegas antara si pemenang dan si pecundang. Natsir bergabung dengan PRRI/Perjuang­an Rakyat Semesta, terkait dengan kekecewaannya terhadap Bung Karno yang terlalu memihak PKI dan kecenderungan kepemimpinan nasional yang semakin otoriter. Ia ditangkap, dijebloskan ke penjara bersama beberapa tokoh lain tanpa pengadilan.

Dunianya seakan-akan berubah total ketika Soekarno, yang memerintah enam tahun dengan demokrasi terpimpinnya yang gegap-gempita, akhirnya digantikan Soeharto. Para pencinta demokrasi memang terpikat, menggantungkan banyak harapan kepada perwira tinggi pendiam itu. Soeharto membebaskan tahanan politik, termasuk Natsir dan kawan-kawannya. Tapi tidak cukup lama Soeharto memikat para pendukung awalnya. Pada 1980 ia memperlihatkan watak aslinya, seorang pemimpin yang cenderung otoriter.

Dan Natsir yang konsisten itu tidak berubah, seperti di masa Soekarno dulu. Ia kembali menentang gelagat buruk Istana dan menandatangani Petisi 50 yang kemudian memberinya stempel ”musuh utama” pemerintah Soeharto. Para tokohnya menjalani hidup yang sulit. Bisnis keluarga mereka pun kocar-kacir karena tak bisa mendapatkan kredit bank. Bahkan beredar kabar Soeharto ingin mengirim mereka ke Pulau Buru—pulau di Maluku yang menjadi pembuangan tahanan politik peng­ikut PKI. Soeharto tak memenjarakan Natsir, tapi dunianya dibuat sempit. Para penanda tangan Petisi 50 dicekal.
Mohammad Natsir meninggalkan kita pada 1993. Dalam hidupnya yang cukup panjang, di balik kelemahlembut­annya, ada kegigihan seorang yang mempertahankan sikap. Ada keteladanan yang sampai sekarang membuat kita sadar bahwa bertahan dengan sikap yang bersih, konsisten, dan ber­sahaja itu bukan mustahil meskipun penuh tantang­an. Hari-hari belakangan ini kita merasa teladan hidup seperti itu begitu jauh, bahkan sangat jauh. Sebuah alasan yang pantas untuk menuliskan tokoh santun itu ke dalam banyak halaman laporan panjang edi­si ini.
Walau dikenal luas oleh para tokoh dunia, Pak Natsir tetap menjalani hidup dengan penuh kesederhanaan. Pak Natsir merupakan salah satu dari sedikit tokoh Islam Indonesia yang sungguh-sungguh berjuang menghidupi Islam, bukan sungguh-sungguh hidup dari memanfaatkan Islam, sehingga menjadi gemuk di jalan dakwah, seperti yang sekarang banyak dikerjakan orang-orang yang mengaku tokoh Islam. Bagi Pak Natsir, dunia dengan segala gemerlapnya adalah kepalsuan, bukan hakikat.

Tokoh yang sederhana ini wafat pada hari Sabtu tanggal 6 Februari 1993 pukul 12.10 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dalam usia 84 tahun. Semoga Allah ampuni segala dosanya, diterima segala amal ibadahnya dan dilapangkan kuburnya, dikumpulkan bersama para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih di dalam surga.
 

4 komentar:

Ismanalex mengatakan...

M.NATSIR pahlawan besar yg namanya coba di kecilkan oleh sejarah busuk negri ini.

Al-Ittihad mengatakan...

iya benar... bukan m natsir saja yang namanya di kecilkan dalam sejarah.. masih banyak lagi dari tokoh masyumi

Anonim mengatakan...

Kalau Bukan kita siapa lagi yang akan meneruskan mereka....??
Allahu Akbar,, buat lembaran baru ...

Anonim mengatakan...

PERJUANGAN NASIONALISME DAN RELIGIUS MEMBUAT SPIRIT OF ISLAM (SEMANGAT APINYA ISLAM ) TAKAN PADAM DI MAKAN JAMAN DAN LUPUK DI MAKAN MASA ISLAM TETAP ABADI DI JIWA HATI PEMUDA PEMUDI ISLAM KAFAH.......LANJUTKAN PERJUANGAN UMAT ISLAM JAYALAH PERSATUAN KESATUAN ISLAM DUNIA ISLAM SEDANG DI UJI DAN DI ADU DOMBA SEMENTARA MUSUH ISLAM KETAWA MELIHAT PERSAUDARAAN KITA PECAH BAGAI BUAIH DALAM GELOMBANG SADARLAH WAHAI UMAT ISLAM JANGAN MAU DI PECAH DAN DI ADU DOMBA KARENA KEMUNGKARAN YANG BERSATU BISA MENGALAHKAN KEBAIKAN YANG ACAK-ACAKAN (TAK TERORGANISIR)....