Penulis : Yudi Wahyudin
SUMBER : http://pemudapersisgarut.wordpress.com/
Konteks kelahiran Persis pada paruh pertama abad 20 disebut masa keemasan pemikiran Islam. Selain masa ini merupakan masa pencarian bentuk, pertarungan pemikiran pada era ini bercorak sangat ideologis. Dalam arti, makna Islam yang luas dipilih secara teliti oleh masing-masing kelompok kemudian dijadikan sebagai basis visinya. Tentu saja sebagai gerakan keagamaan, Persis memiliki corak khas yang dimaksud itu. Di satu sisi, ia bertujuan untuk menghidupkan syari’ah dalam seluruh aspek kehidupan, namun di sisi lain ia memilih –di antara bangunan dan aspek Islam yang luas itu, perlawanan terhadap segala bentuk kejumudan bertindak dan beragama. Dengan memilih aspek ini, ia tidak lahir untuk bersaing dengan Muhammadiyyah –yang lahir lebih tua, dalam membangun lembaga-lembaga sosial yang menurut catatan muridnya terinspirasi oleh Surat Al-Mâ’ûn sebagai wujud dan bentuk kesalihan di lapangan sosial. Bagi Persis, kesalihan dan kesalahan sosial merupakan dampak dari sejauhmana memandang dan meyakini aspek-aspek prinsipil dalam Islam (‘aqîdah). Dengan demikian, pada awalnya kedua ormas itu secara langsung atau tidak langsung telah membangun tradisi pembagian peran strategis dalam bingkai Islam yang sangat luas.
Pada praktiknya, Persis menerjemahkan taklid sebagai sebuah tradisi kejumudan yang secara gamblang menutup rapat pintu ijtihâd dalam aspek ibadah. Bid’ah adalah perilaku yang dilegitimasi sebagai kewajiban agama namun tidak berlandaskan Quran-Sunnah. Sedangkan churafat dan takhayyul merujuk pada mental masyarakat yang masih menyisakan tradisi penyimpangan-penyimpangan aqidah-ibadah akibat persentuhan Islam-Hindu-Budha-Jawa.
Namun kelihatannya sebagian ahli keliru ketika Persis dikategorikan sebagai gerakan modern atau Islam modernis. Kemudian istilah ini secara ideologi harus dihadapkan pada lawannya, yaitu tradisionalis atau fundamentalis-konservatif. Selain hanya sedikit saja aspek yang diperlihatkan oleh Persis secara modern –berkaitan dengan penggunaan fasilitas, modernisme merujuk pada ideologi yang berkembang di zaman kegelapan barat (the dark age) berkaitan dengan kepentingan-kepentingan ekonomi. Latar modernisme adalah perlawanan terhadap feodalisme, namun karena menggugat kelas penguasa tidak cukup dengan pengalihan dan penggunaan fasilitas modern, maka kelompok modern merasa perlu untuk menggunakan jargon-jargon pencerahan untuk menyadarkan masyarakat yang masih berada dalam kungkungan sistem lama (feodalisme) agar tersadarkan dan tercerahkan. Oleh sebab itu, modernisme tidak menganggap titik tolak materialistik sebagai strategi, namun lebih tepat disebut sebagai tujuan modernisme itu sendiri.
Sebaliknya Persis justru berangkat dari pencerahannya. Sehingga dapat difahami bahwa penggunaan fasilitas dan gaya modern tidak lebih merupakan strategi –yang di kemudian hari sangat mungkin berkembang dan berubah dengan ideologi yang masih tetap sama, yaitu melawan kejumudan. Bagi Persatuan Islam, penggunaan jas, sepatu, kelas, dan media massa tidak lebih merupakan strategi sebagai alat bantu pencerahan. Oleh sebab itu, dalam arti ini, Persis tidak hendak ‘membeo’ barat dalam penggunaan hal-hal yang bersifat modern.
Kemudian dari apa yang diperlihatkan oleh pendahulunya, Persis tidak identik dengan gerakan libere –yang berkembang pada tahun 80-an, yang membebaskan gerakannya melawan sekat apapun termasuk agama atau kita menyebutnya sebagai post-modernisme. Hal ini membantah teori yang mengatakan bahwa gerakan liberalisme Islam sebagai anak kandung gerakan tajdid. Sebab Persis dalam banyak aspek sangat dekat dengan fundamentalisme Islam yang tidak mau berkompromi dalam penafsiran teks, khususnya berkaitan dengan teks-teks bertemakan aqidah.
Persoalan Umat dan Muktamar Persis 2010
Namun, saat ini ideologi yang dipilih Persis tidak jelas –untuk tidak mengatakan tidak berideologi. Persis kelihatannya berusaha mengembangkan lembaga-lembaga yang tidak bersinggungan langsung dengan ideologi awal –seperti lembaga amil zakat, lembaga bimbingan haji dan tour, serta lembaga usaha. Bahkan di sisi lain secara tidak sadar melemahkan lembaga dan tradisi yang secara langsung bersinggungan dengan ideologi awal –seperti kajian turâts, inovasi pendidikan, pengembangan media massa, debat publik, dan laboratorium dakwah.
Pemilihan bentuk di atas dalam kacamata perjuangan Islam secara umum sah-sah saja. Namun jika diukur oleh seberapa kuat pengaruh dan implikasi perjuangan yang dilakukan terhadap perubahan masyarakat ke arah yang diinginkan oleh visi, maka kekaburan ideologis ini menjadi sangat bermasalah. Sebab tantangan dan konstalasi ‘medan jihad’ di Indonesia jelas tidak bisa dilakukan oleh satu organisasi seperti Persis. Permasalahan masyarakat kontemporer lebih luas dan kompleks jika hanya harus diselesaikan oleh Persis seorang diri. Oleh sebab itu, dalam momen Muktamar 2010 ini, Persis harus segera memilih fokus sebagai aspek penting yang dianggap ‘biang keladi’ persoalan umat.
Namun kita harus waspada pada rutinitas yang menjadi ‘musuh bersama’ gerakan tajdid. Sebab sebagai gerakan Islam, kita harus meyakini bahwa hari ini harus lebih baik dari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Dengan ungkapan ini, kita bisa mengatakan bahwa Muktamar Persis 2010 harus menghasilkan produk yang berkualitas –paling tidak untuk masa depan Islam Indonesia. Sebab jika tidak berbeda dengan muktamar-muktamar sebelumnya, Persis mengalami kerugian. Apalagi jika produk Muktamar 2010 lebih buruk dari muktamar-muktamar sebelumnya, hal itu menandakan bahwa Persis telah tertipu. Tentu saja melihat kualitas produk antara satu muktamar ke muktamar lain diukur oleh visi dan tujuan jam’iyyah itu sendiri atau dengan kata lain Ideologi Jam’iyyah.
Mengenai persoalan ini, dalam Risalah No.45-46-47/Th.VI/1967, pernah dimuat tausiyyah Al-Ustadz E. Abdurrahman ketika melantik salah satu Pimpinan Cabang. Dalam poin Bagaimana Menilai Kemadjuan Djam’iyyah, beliau menegaskan, “Perbedaan tjara berfikir, bertindak dan berbitjara itu menjebabkan perbedaan penilaian…oleh sebab itu, sebuah djam’ijjah jang bergerak dalam lapangan pendidikan, akan merasa ketinggalan, bila melihat djam’ijjah yang bergerak dibidang politik…Persis mengamankan dan mengamalkan Quran-Hadits, maka dalam lingkungan yang tidak sefaham dengan Persis akan terasa bahwa Persis itu diisolir, atau meng-isolir diri, sebab hukum tidak mungkin kompromi. Persis meng-isolir diri dari himpunan main djudi, sebab ‘aqîdah lebih utama dari djam’ijjah. Persis meng-isolir diri dari lingkungan Nasakom, sekalipun diantjam akan dibubarkan, sebab lebih mudah mengurbankan djam’ijjah daripada ‘aqîdah, lebih mudah mengurbakan harta dan djiwa daripada mengurbankan ‘aqîdah dan hukum2 dari Allah. Oleh karena itu, djangan masuk Persis, bila bukan untuk mengadji dan mengkadji, dan djangan mendjadi anggota Persis bila denganja mengharap kedudukan di DPR.”
Sedangkan dalam poin Apa Artinya Perbedaan Lapangan, beliau menguraikan aspek-aspek yang dipilih Persis sebagai ideologi gerakannya, “Seorang tukang batu jang iri hati melihat tukang kaju, adalah tukang batu jang tidak sadar akan nilai diri dan pekerdjaannja. Tukang batu dan tukang kaju ke-dua2-nja penting. Bila ke-dua2-nja meninggalkan pekerdjaan atau bertukar kerdja akan menimbulkan kekatjauan. Demikian pula halnja, seorang anggota Persis jang iri melihat anggota suatu parpol, atau berangan berwibawa seperti anggota ABRI, adalah anggota jang tak tahu nilai diri dan pekerdjaannja. Sesungguhnja tiap2 bidang hendaklah digarap demi kemadjuan dan terbinanja bangunan negara jang utuh….namun itupun harus dilakukan dengan ichlâsh, dengan tidak iri pada penggarap2 lain dibidang lain, atau berangan hendak merangkapnja sekaligus.”
Ungkapan di atas menyiratkan –meski dalam konteks dan waktu yang berbeda, perlunya seorang pemimpin memahami pokok persoalan, tujuan, lapangan jihad, dan penilaian (evaluasi) sebuah jam’iyyah. Persoalan ‘tukang kaju’ jelas berbeda dengan ‘tukang batu’. Oleh sebab itu tentu memiliki tujuan dan cara penilaian masing-masing yang berbeda. Selain harus terwujudnya pembagian peran antar ormas, masing-masing ormas pun wajib memilih tugas yang dianggap penting menurut penilaian dan tujuannya.
Sebagai musyawarah yang memiliki kedaulatan tertinggi dalam Jam’iyyah, Muktamar Persis 2010 harus segera menegaskan ideologi jam’iyyah mengenai ‘Kemadjuan’ serta ‘Perbedaan Lapangan’-nya di tengah semarak dan bertaburannya ormas lain. Sebab sampai saat ini –setelah era ideologis membias, perdebatan mengenai visi ideologis ikut meredup. Muktamar disibukkan oleh hal-hal bersifat teknis, perubahan beberapa redaksional QA-DQ, dan rencana program yang kurang realistis. Selebihnya adalah rekomendasi-rekomendasi reaktif mengenai persoalan-persoalan yang kurang lebih sama-sama diangkat oleh ormas lain dengan sudut pandang yang serupa.
Sebagai organisasi tajdid, Muktamar Persatuan Islam 2010 harus mampu menyatakan akar persoalan umat –yang menjadi biang keladi kecarutmarutan moral serta penyelewengan-penyelewengan lainnya, secara spesifik dengan analisis yang cukup memadai. Setelah akar tersebut ditemukan, maka perlawanan terhadap akar persoalan inilah yang menjadi ideologi Persatuan Islam dalam setiap kerangka jihadnya. Hal ini kemudian akan berimbas pada pertanyaan-pertanyaan seputar kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan, baik itu berupa aturan, pembentukan lembaga, serta program-program yang akan dilaksanakan.
Sebagai contoh, ketika Persatuan Islam pertama kali didirikan, para penggeraknya menyatakan bahwa persoalan kemunduran Islam adalah merebaknya pelecehan terhadap agama, baik berupa faham-faham kebangsaan sempit (‘ashabiyyah), mistisme-dinamisme (churafât), mitologi (takhayyul), dan perilaku-perilaku agama tanpa landasan dalil yang benar (bid’ah). Akar persoalan ini, menurut Persatuan Islam, mengantarkan orang Islam pada keterjajahan. Persatuan Islam seolah-olah hendak mengatakan –sesuai dengan isyarat hadits dari riwayat Imam Abu Daud dan Imam Ahmad dari Tsauban, bahwa mentalitas umat muslim yang seperti buih-lah (ghutsâ-an) yang menjadi biang keladi keterpurukannya. Ashabiyyah, churafat, takhayyul, dan bid’ah merupakan manifestasi dari mental buih yang ‘tong kosong nyaring bunyinya’, kekurangfahaman, kelemahan pengamalan agama, serta kuantitas tanpa kualitas.
Oleh karena kesadaran ini, maka kemudian strategi yang diterapkan adalah mengadji dan mengkadji Al-quran dan Hadits. Strategi ini adalah simbol dari penguatan pengetahuan terhadap syari’ah, memperdalam ilmunya, memilah yang benar dan salah menurut syari’ah, menguji dan mengkaji keyakinan lain berdasarkan standar syari’ah, serta menyebarkan keyakinan yang telah diuji kebenarannya oleh syari’ah.
Saat ini, kelihatannya pemilihan topik yang sama –yaitu melawan TBC dan kawan-kawan, tidak dibarengi kesadaran yang sama tapi kelihatannya lebih ikut-ikutan tren sejarah. Sebagai bukti, jika Persatuan Islam masih bergerak mewacanakan pencerahan kesadaran dalam bingkai mengadji dan mengkadji Al-Quran dan Hadits, mengapa semangat mengkaji dan mengaji Quran-hadits hanya cukup melalui tabligh? mengapa banyak pesantren yang dimiliki Persis tidak lagi mewarnakan kajian turâts? bahkan ikut-ikutan pada tren Departemen Agama dengan sistem madrasinya? Mengapa juga sampai saat ini, rencana mendirikan perguruan tinggi yang berwibawa dan dapat menjadi pilar keilmuan vis a vis pendidikan sekuler tidak pernah terwujud? Bahkan basis kurikulum dan materi ajar di perguruan tinggi yang dimiliki Persis masih juga menggunakan pandangan dunia (world view) yang sangat sekuler? Di sisi lain, mengapa juga kita lebih memprioritaskan, misalnya, pembenahan lembaga amil zakat dan lembaga bimbingan haji ketimbang lembaga dakwah serta inovasinya, seperti pembangunan media dakwah, baik elektronik maupun cetak? Dimanakah Persatuan Islam ketika hedonisme berkembang biak di mall-mall? Di manakah Persatuan Islam ketika standar ‘kemadjuan’ yang dianggap oleh seluruh lapisan masyarakat –termasuk anggota dan penggerak jam’iyyah sendiri, harus bersifat materialistik? Di manakah kita saat pemikiran-pemikiran bid’ah dan dhalâlah dalam bentuk sekulerisme, feminisme, pluralisme, dan liberalisme berkembang biak di media-media elektronik dan cetak? Kapankah proyek pencetakan ashhâbun, hawwâriyyûn, mujâhid, mujtahid dimulai, jika generasi muda Persis dan anak-anak ‘ulamâ Persatuan Islam masih terbuai sejarah dan tanpa pembinaan pendidikan yang sejalan dengan karakter mujaddid? Kapankah kita –setelah generasi yang layak memimpin itu tiba, tidak lagi ikut-ikutan sistem demokrasi dalam memilih imam jam’iyyah dengan menyerahkannya pada majority vote (suara terbanyak)? Bukankah menyadarkan bahwa semua itu salah adalah tugas kita?
Renungan Akhir
Pada Muktamar ke VIII tahun 1967, redaksi Majalah Risalah menyiapkan Alaskata (editorial) yang sangat menyentuh. Dalam tulisan itu, redaksi memberikan judul, “Konsepsi Sudah Terlalu Banjak, Kegiatan Bertindak Sangat Kurang”. Editorial ini menyoroti ironi muktamar pada umumnya yang berisi perdebatan panjang, ‘gelanggang adu gulat’, bagi-bagi rizki, serta berebut kedudukan. Ironinya bertambah ketika uang berhamburan untuk memeriahkan ‘pesta keagungan organisasi Islam’, namun pada saat yang sama, mesjid, pesantren, tabligh, majalah-majalah mati kekurangan tenaga dan dana. Sebagai orang awam, kita berfikir bahwa ternyata hasil-hasil muktamar tidak sesuai dengan modal yang dikeluarkannya. Kita berlindung kepada Allah dari ironi-ironi ini, oleh sebab itu, marilah berdoa dan bekerja, semoga Muktamar Persatuan Islam 2010 ini benar-benar menuju mardhâtillah. Wallahu’alam
Jumat, 24 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar